Asal usul Pelalawan berawal dari sebuah kerajaan yang
diberi nama “Kerajaan Pekantua”. Kerajaan Pekantua berkaitan erat dengan
sejarah Kerajaan Temasik (Singapura) dan Malaka. Kerajaan Pekantua berada di
tepi Sungai Pekantua, anak sungai Kampar yang sekarang telah menjadi wilayah
Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Kerajaan tersebut didirikan oleh Maharaja Indera pada tahun 1380 M. Pusat pemerintahan bekas Kerajaan
Pekantua berjarak lebih kurang 45 km dari kota Pangkalan Kerinci. Wilayah
tersebut dapat ditempuh melalui jalan darat dengan cara menyusuri jalan Lintas
Timur dan jalan Lintas Bono serta dapat pula ditempuh melalui jalan air dengan
cara menyusuri Aliran Sungai Kampar.
Pendiri
Kerajaan Pekantua, Maharaja Indera, adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik
yang takluk kepada Kerajaan Majapahit pada akhir abad XIV. Sementara Raja
Temasik yang terakhir bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan diri ke
Tanah Semenanjung dan mendirikan Kejaan Malaka. Kerajaan Malaka akhirnya
berkembang pesat menjadi Imperium Melayu sampai akhirnya kalah dari Portugis
pada tahun 1511 M.
Sejarah
perjalanan Kerajaan Pekantua bermula pada tahun 1380 M. dan berakhir pada tahun
1946 M. Dalam perjalanannya, Kerajaan tersebut beralih nama menjadi “Kerajaan
Pekantua Kampar” dan terakhir menjadi “Kerajaan Pelalawan”. Pusat
pemerintahannya pun berpindah-pindah dari Sungai Pekantua ke Bandar Tolam
(sekarang : Desa Kuala Tolam) kemudian pindah ke Tanjung Negeri di Sungai Nilo.
Setelah itu berpindah pula ke Sungai Rasau (Kota Jauh dan Kota Dekat), terakhir
berpindah ke Kuala Sungai Rasau atau disebut juga dengan Ujung Pantai di
pinggir Sungai Kampar. Di tempat ini Sultan bersama masyarakat Pelalawan
membangun perkampungan baru yang disebut Kampung Dalam dan Kampung Pinang
Sebatang. Terakhir Kampung Dalam disebut Dusun Raja dan Kampung Pinang Sebatang
disebut Dusun Pinang Sebatang. Pada awal zaman kemerdekaan, banyak masyarakat
pendatang dari wilayah pedalaman atau daratan yang berpindah dan menetap di
Pelalawan sehingga terbukalah sebuah dusun baru yang diberi nama Dusun Makmur.
Sejarah
perjalanan Kerajaan Pelalawan dikelompokkan menjadi 6 zaman, yaitu :
A.
Zaman
Pekantua atau Dinasti Temasik (1380 – 1505 M.)
Raja
pertama yang mendirikan Kerajaan Pekantua adalah Maharaja Indera yang memerintah dari tahun 1380 M. sampai tahun
1420 M.. Untuk menunjukkan rasa syukur dapat melarikan diri dari kejaran
Majapahit di Temasik dan keberhasilannya mendirikan kerajaan baru yang diberi
nama Kerajaan Pekantua, beliau membangun Candi Hyang di Bukit Tuo yang sekarang
termasuk wilayah Desa Lubuk Mas, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan.
Setelah
Maharaja Indera wafat, digantikan oleh puteranya yang bergelar Maharaja Pura yang memerintah dari
tahun 1420 M. sampai tahun 1445 M. Pada
masa pemerintahannya beliau terus berusaha mengembangkan Pekantua menjadi
bandar besar di perairan Sungai Kampar.
Maharaja
Pura
digantikan
oleh
anaknya
yang
bergelar Maharaja
Laka yang
memerintah dari tahun
1445 M. sampai tahun 1460 M. Pada saat itu hubungan dagang dengan Malaka yang
telah dirintis oleh ayahndanya terus ditingkatkan.
Maharaja
Laka wafat dan digantikan oleh Maharaja
Syisya yang memerintah dari tahun 1460 M. sampai tahun 1480 M. Beliau
membangun bandar baru di seberang hulu Bandar Pekantua yang dinamakan Bandar
Nasi dan terakhir bernama Bandar Nasi Nasi. Bandar tersebut berkembang menjadi
pusat perniagaan sehingga kerajaan memiliki dua bandar di mana Bandar Pekantua
tetap berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Maharaja
Syisya wafat dan digantikan oleh Maharaja
Jaya yang memerintah dari tahun 1480 M. sampai tahun 1505 M. Pada saat
Maharaja Jaya memerintah, Pekantua diserang oleh Kerajaan Melaka di bawah
pimpinan Sri Nara Diraja. Pada saat itu sultan yang memerintah Melaka adalah
Sultan Mansyur Syah. Pasukan Melaka dihadang oleh Maharaja Jaya tetapi beliau
tewas dan Kerajaan Pekantua berikut Bandar Nasi-Nasi jatuh ke tangan Malaka.
B.
Zaman
Pekantua Kampar atau Dinasti Malaka (1505 – 1590 M.)
Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah
mengangkat Munawar Syah menjadi raja
Pekantua yang memerintah dari tahun 1505 M. sampai tahun 1511 M. Pada waktu itu
nama pekantua diganti menjadi Kerajaan Pekantua Kampar yang lambat laun dikenal
pula sebagai Kerajaan Kampar.
Setelah Raja Munawar Syah wafat,
penggantinya adalah puteranya yaitu Raja
Abdullah yang memerintah dari tahun 1511 M. sampai tahun 1515 M. Saat
itulah, yaitu pada tahun 1511 M. Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Sultan
Mahmud Syah I ditaklukkan Portugis.
Sultan Mahmud Syah I bersama isterinya, Tun Fatimah, puteranya, Raja Ahmad dan
orang-orang besar Kerajaan Malaka mundur ke Pagoh, Muar, kemudian sampai ke
kota Kara dan Kopak di Pulau Bintan. Raja Abdullah yang telah dijadikan menantu
oleh Sultan Mahmud Syah I ternyata tidak berpihak kepada mertuanya karena
berharap dijadikan Sultan Malaka oleh Portugis. Setelah Sultan Mahmud Syah I
mengetahui pengkhianatan sang Menantu, Raja Abdullah, maka dikirimlah pasukan
untuk menyerang Pekantua di bawah pimpinan menantunya yang lain yaitu Raja
Lingga. Raja Abdullah telah diselamatkan dan diungsikan ke Malaka oleh
Portugis. Pasukan Sultan Mahmud Syah I dipukul mundur oleh Portugis kemudian
kembali ke Bintan melalui Indragiri. Terakhir Raja Abdullah dihukum bunuh oleh
Portugis karena dianggap tidak diperlukan lagi.
Setelah Raja Abdullah wafat, di
Kerajaan Pekantua Kampar terjadi kekosongan pimpinan. Agar roda pemerintahan
tetap berjalan, diangkatlah orang besar kerajaan untuk memangku raja yang
disebut Datuk Mangkubumi yang
memerintah dari tahun 1515 M. sampai tahun 1526 M. Pada saat itu Datuk
Mangkubumi membantu Sultan Mahmud Syah I melawan Portugis di perairan Selat
Malaka. Pekantua dipersiapkan sebagai kubu pertahanan terakhir.
Sultan Mahmud Syah I yang terus
berjuang melawan Portugis, mundur ke Pekantua Kampar karena benteng kota Kara
dan Kopak di Pulau Bintan direbut Portugis. Sultan Mahmud Syah I dilantik menjadi raja Pekantua Kampar yang
memerintah dari tahun 1526 M. sampai tahun 1528 M. Beliau berusaha menyusun
kekuatan melawan Portugis. Beliau memperbesar benteng-benteng yang dibuat oleh
Datuk Mangkubumi. Benteng yang paling terkenal adalah Kubu Kerumutan atau
disebut juga dengan Kubu Pangkalan Malaka (sekarang disebut Desa Pangkalan
Melaka, Kecamatan Kerumutan). Beliau juga membangun Kubu Panduk (sekarang
disebut Desa Pangkalan Panduk, Kecamatan Kerumutan) dan Kubu Bandar Nasi Nasi
(termasuk wilayah Kelurahan Pelalawan, Kecamatan Pelalawan). Sultan Mahmud Syah
I mangkat pada tahun 1528 M. dan dimakamkan di Pekantua (sekarang disebut Dusun
Pekantua, Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan). Almarhum diberi gelar Marhum
Kampar I. Menurut Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, isteri baginda, Tun Fatimah, telah
terlebih dahulu mangkat dan dimakamkan di Pekantua Kampar.
Sultan
Alauddin Riayat Syah II dinobatkan menjadi
Raja Kerajaan Pekantua Kampar menggantikan ayahnya, Sultan Mahmud Syah I karena
wafat. Sultan Alauddin Riayat Syah II memerintah dari tahun 1528 M. sampai
tahun 1530 M. Beliau juga dikenal sebagai raja di seluruh wilayah bekas
Kerajaan Malaka. Pada tahun 1529 M, beliau berangkat ke Pahang bersama
bendahara Tun Isap, Laksemana Hang Nadim
dan seluruh orang besar
kerajaanny
sampai beberapa waktu yang kemudian dinobatkan
menjadi Sultan Johor ke-2.
Karena Sultan Alauddin Riayat Syah
II meninggalkan Pekantua Kampar, maka Mangkubumi
Tun Perkasa diangkat sebagai pemangku raja. Mangkubumi Tun Perkasa
memerintah dari tahun 1530 M. sampai tahun 1551 M. Tidak ada sejarah tertulis
maupun lisan mengenai masa pemerintahan beliau.
Pengganti Mangkubumi Tun Perkasa
adalah Mangkubumi Tun Hitam. Beliau
memerintah Kerajaan Pekantua Kampar dari tahun 1551 M. sampai tahun 1575 M.
Pada masa pemerintahan beliau pun tidak ada data sejarah tertulis maupun lisan
mengenai perjalanan Kerajaan Pekantua Kampar.
Mangkubumi Tun Hitam mangkat pada
tahun 1575 M. dan digantikan oleh Mangkubumi
Tun Megat yang memerintah dari tahun 1575 M. sampai tahun 1590 M. Pada masa
pemerintahan beliau, hubungan antara Johor dan Pekantua Kampar yang nyaris
terputus akibat gangguan Portugis kembali dihidupkan. Pada tahun 1590 M. Mangkubumi
Tun Megat mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuk Batin Muncak Rantau, Tuk Patih
Jambuano, dan Tuk Raja Bilang Bungsu ke Johor supaya Sultan Johor waktu itu
Sultan Alim Jalla Abdul Jalil Syah I berkenan mengangkat raja di Pekantua
Kampar karena raja Pekantua Kampar sebelumnya yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah
II telah mangkat. Untuk mengabulkan permintaan Mangkubumi Tun Megat maka Sultan
Alim Jalla Abdul Jalil Syah I mengangkat raja Pekantua Kampar dari kalangan
keluarga dekatnya, yaitu Raja Abdurrahman.
C.
Zaman
Pekantua Kampar atau Dinasti Johor (1590 – 1720 M.)
Di Pekantua Kampar, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi
raja dengan gelar Maharaja Dinda I. Beliau
memerintah dari tahun 1590 M. sampai tahun 1630 M. Pada masa pemerintahannya,
Pekantua Kampar maju pesat. Hubungan dagang dengan Johor, Kuantan, dan
lain-lainnya terus ditingkatkan. Sekitar tahun 1595 M. beliau membangun Bandar
Tolam (sekarang Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan) yang berada di sebelah
hilir Pekantua. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Bandar Tolam karena lebih
mudah melakukan hubungan laut melalui Sungai Kampar dan hubungan darat melalui
Pangkalan Bunut ke wilayah Petalangan. Pada masa itu pula datang utusan dari
Pagarruyung untuk menentukan tapal batas antara adat Johor dan adat Perpatih
(Minangkabau). Setelah diadakan pertemuan kedua belah pihak, disepakati bahwa perbatasan
antara keduanya adalah kawasan Sigalang yang terletak di antara Langgam dan
Suangai Terusan. Dalam perkembangannya sebutan Adat Johor lazim diubah menjadi
Adat Melayu Pesisir di mana kelompok masyarakatnya lazim mendiami wilayah
pesisir Sungai Kampar dan wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh adat Perpatih
lazim disebut Adat Petalangan di mana kelompok masyarakatnya lazim mendiami
wilayah pedalaman atau daratan. Untuk mendukung kemajuan perdagangan, Maharaja
Dinda I membangun limbungan kapal atau pabrik pembuatan kapal di Petatalan,
tidak jauh dari Telawa Kandis (sekarang wilayah tersebut termasuk Desa Ransang,
Kecamatan Pelalawan).
Setelah Maharaja Dinda I wafat,
penggantinya adalah anakndanya yang bergelar Maharaja Lela I. Beliau memerintah dari tahun 1630 M. sampai tahun
1650 M. Maharaja Lela I meningkatkan upaya perdagangan dengan membangun
pusat-pusat pelabuhan dagang, antara lain Bandar Telawa Kandis di hilir Kuala
Tolam (sekarang termasuk wilayah Desa Ransang, Kecamatan Pelalawan), Bandar
Panduk di hilir Sungai Panduk (sekarang Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk
Meranti), dan Bandar Teluk Binjai di hulu Kuala Sungai Kerumutan (sekarang Desa
Teluk Binjai, Kecamatan Teluk Meranti).
Pengganti Maharaja Lela I adalah Maharaja Lela Bangsawan yang memerintah
dari
tahun 1650 M. sampai
tahun 1675 M.
Pada masa itu tidak
banyak catatan sejarah. Tapi
disebutkan bahwa beliau meneruskan kebijakan
raja-raja sebelumnya dalam perdagangan. Upaya ini tidak banyak berhasil karena
di Selat Malaka terjadi perebutan kekuasaan antara Belanda, Portugis, Aceh, dan
sebagainya.
Maharaja Lela Utama adalah pengganti
Maharaja Lela Bangsawan karena wafat. Beliau memerintah dari tahun 1675 M.
sampai tahun 1686 M. Maharaja Lela Utama memindahkan pusat kerajaan dari Bandar
Tolam ke Tanjung Negeri di Sungai Nilo. Alasan pemindahan tidak banyak
diketahui, tetapi diduga karena Bandar Tolam sering diganggu lanun dari Selat
Malaka, termasuk serangan Belanda dan Aceh.
Pengganti
Maharaja Lela Utama adalah Maharaja
Wangsa Jaya yang memerintah dari tahun 1685 M. sampai tahun 1691 M. Pada
masa pemerintahan beliau, Tanjung Negeri terjadi wabah penyakit yang banyak
memakan korban jiwa, tetapi pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat
kerajaan karena dianggap masih sangat baru. Akhirnya beliau wafat karena
penyakit menular tersebut.
Karena
Maharaja Wangsa Jaya wafat, tampuk pemerintahan digantikan oleh puteranya, Maharaja Muda Lela. Beliau memerintah
dari tahun 1691 M. sampai tahun 1720 M. Pada masa tersebut beliau berusaha
memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial akibat
wabah penyakit yang banyak membawa korban termasuk ayahandanya. Tapi usaha
tersebut belum berhasil karena ditentang oleh pembesar kerajaan. Pada masa
pemerintahannya, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai Nilo.
D.
Zaman
Pelalawan atau Dinasti Johor (1720 – 1798 M.)
Maharaja
Dinda II menggantikan ayahandanya, Maharaja Muda
Lela. Beliau memerintah dari tahun 1720 M. sampai tahun 1750 M. Pada masa itu
akhirnya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang
pernah dilalaukan (ditandai,
dicadangkan) oleh moyangnya, Maharaja Lela Utama, yakni di Sungai Rasau,
salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo. Sekitar tahun 1725 M,
dilakukan upacara pemindahan kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Pada
upacara adat tersebut, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan
itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar diganti menjadi Kerajaan Pelalawan. Nama Pelalawan diambil dari kata lalau (pe-lalau-an) yang berarti
penandaan/pencadangan. Gelar “Maharaja Dinda II” juga disempurnakan menjadi
“Maharaja Dinda Perkasa” atau disebut “Maharaja Lela Dipati”.
Setelah Maharaja Lela Dipati
mangkat, tampuk pemerintahan digantikan oleh anakndanya, Maharaja Lela Bungsu (1750 M. – 1775 M.). Maharaja Lela Bungsu
memerintah dengan arif dan sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Beliau juga
yang mula-mula membuat rumah di atas air (dengan pelampung yang terbuat dari
rakitan kayu-kayu balok) sebagai tempat kediamannya yang disebut Rumah Rakit, dan masyarakat banyak yang
membuat rakit sebagai rumah tinggal. Sultan Siak pada periode 1761 M. – 1766 M.
mengirim utusan ke Pelalawan agar Pelalawan bernaung di bawah Kerajaan Siak.
Sekaligus mengaku sebagai pewaris tahta Johor yang waktu itu dipegang oleh
Sultan Sulaiman. Sultan Pelalawan menolak dan berkata bahwa Pelalawan
hakekatnya berdiri sendiri karena Johor pun sudah berganti raja yang bukan
keturunan Sultan Mahmud Syah I. Akhirnya Pelalawan diserang oleh Siak di bawah
pimpinan Panglima Perang Siak, Said Osman. Pertempuran berlangsung sangat
sengit di Benteng pertahanan Pelalawan yaitu di Kuala Mempusun. Pelalawan
berhasil memukul mundur Siak. Menurut cerita yang masyhur, berdasarkan anjuran
Panglima Kerajaan Pelalawan saat itu, Datuk Maharaja Sinda, agar menentang Siak,
maka seluruh pembesar Kerajaan mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap
penentangan terhadap Siak ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang
berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siak masih ada hingga saat ini
yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala
Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah
Siak) walaupun sudah diperbaiki berulang-ulang.
Pengganti Maharaja Lela Bungsu
adalah Maharaja Lela II (1775 M. – 1798
M.). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Siak Sri Indera Pura telah
mengembangkan wilayah ke pesisir timur Pulau Sumatera dan berhasil menguasai
daerah Temiang, Bilah, Panai, Kualuh, Batu
Bahara, Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Tanjung Pura, dan sebagainya
bahkan sampai ke Sambas Kalimantan Barat namun gagal. Sultan Siak pada saat itu,
Syarif Ali, mengirim angkatan perangnya
untuk menyerang Pelalawan di bawah pimpinan Panglima Besar Siak, Syarif Abdul
Rahman. Serangan Siak ke Palalawan yang kedua tersebut dilakukan melalui dua
arah serangan yaitu pasukan angkatan daratnya melalui hulu Sungai Rasau dan
pasukan angkatan lautnya melalui muara Sungai Kampar. Pertempuran tersebut
berlangsung sengit. Panglima perang Kerajaan Pelalawan satu per satu gugur,
termasuk Panglima Kudin dan tunangnya, Zubaidah, gugur di benteng pertahanan
Tanjung Pembunuhan. Akhirnya Kerajaan Pelalawan pun takluk. Kekalahan tersebut
juga dikarenakan adanya pengkhianatan dari salah seorang masyarakat Pelalawan
yang berasal dari Siak, yaitu orang tersebut menyirami seluruh mesiu yang
berada di gudang Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi. Sultan Pelalawan beserta beberapa pengikutnya mengungsikan
diri ke Luhak Berlima (daerah Kuantan Indragiri). Jenazah Panglima Kudin dan
tunangnya dimakamkan di Kampung Pinang Sebatang Pelalawan.
E.
Zaman
Pelalawan atau Dinasti Siak (1798 – 1945 M.)
Syarif Abdul Rahman bin Said Osman
Syahabuddin ditabalkan sebagai Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin.
Beliau memerintah dari tahun 1798 M. sampai tahun 1822 M. Penaklukan Pelalawan
berbeda dengan penaklukan wilayah lainnya karena sejak berdirinya Kerajaan
Siak, Pelalawan tidak mengakuinya sebagai Yang Dipertuan. Hal ini disebabkan
Pelalawan tidak mengakui Raja Kecil (pendiri Kerajaan Siak) sebagai putera
Sultan Mahmud Syah II, tetapi beliau berasal dari Pagarruyung Minangkabau.
Pelalawan tetap mengakui Johor sebagai Yang Dipertuan karena Datuk-Datuk (Raja)
yang memerintah Pelalawan berasal dari Johor (keturunan Sultan Mahmud Syah II,
Sultan Johor). Sultan Siak juga mengakui sebagai pewaris tahta Johor karena
Raja Kecil adalah putera Sultan Mahmud Syah II. Walaupun sudut pandang kedua
belah pihak sedikit berbeda, tetapi Sultan Siak (Syarif Ali) dapat mengambil
suatu kebijakan yang arif yaitu Pelalawan tidak diperlakukan sebagai jajahan,
melainkan diberi kekuasaan penuh memerintah kerajaannya sendiri. Assyaidis
Syarif Abdurrahman Fachruddin berlaku hati-hati dalam memerintah Pelalawan.
Usaha pertama yang dilakukan adalah mendekati orang-orang besar Pelalawan.
Beliau membuat maklumat yang isinya semua Orang Besar Pelalawan, termasuk
Batin-Batin, Penghulu, dan kepala-kepala persukuan tetap pada kedudukan semula
serta menguasai hak milik mereka seperi sedia kala. Penduduk yang melarikan
diri selama perang dihimbau segera kembali dan dijamin keselamatnnya. Datuk
Engku Raja Lela Putera (Maharaja Lela II) diangkat kembali sebagai Orang Besar
Kerajaan Pelalawan membawahi seluruh perangkat pemerintahan yang dahulu ada
sekaligus menjadi Pucuk Adat Tempatan, yaitu Pucuk Pebatinan Yang Kurang Esa
Tiga Puluh atau 29 Batin. Sultan juga melakukan ikatan persaudaraan dengan
Maharaja Lela II yang disebut “Begito” yaitu
pengakuan persaudaraan dunia akhirat. Usaha tersebut menimbulkan simpati
rakyat. Orang-orang besar kembali kepada kedudukannya dan rakyat kembali ke
kampungnya, namun pucuk pimpinan tertinggi tetaplah di tangan Sultan. Sultan Assyaidis
Syarif Abdurrahman Fachruddin berusaha menata kembali
perekonomian rakyat dengan memberikan kesempatan luas kepada rakyat
untuk melakukan perdagangan ke luar daerah kerajaan. Hasil hutan yang melimpah
ruah dibawa ke luar daerah, sebagian kecil hasilnya dipungut untuk pajak yang
disebut Pancung Alas. Pancung Alas tersebut dimanfaatkan untuk menambah
penghasilan orang-orang besar Pelalawan termasuk Batin, Penghulu, dan para kepala
persukuan. Ekonomi berkembang pesat menyebabkan kota Pelalawan semakin ramai. Oleh
sebab itu, Sultan memperluas Ibu kota Kerajaan Pelalawan (kota yang telah ada
sebelumnya) yang terletak di sebelah hulu (barat) Sungai Rasau, tepatnya di
seberang kiri Sungai Rasau arah ke hulu (ke barat) menjadi sebuah kota yang
ramai. Pada masa pemerintahan beliau, penyebaran ajaran agama islam berkembang
pesat. Pada masa itu pelawat-pelawat dan pedagang-pedagang asing telah memasuki
daerah-daerah di aliran Sungai Kampar, termasuk Pelalawan. Para pelawat atau
pedagang tersebut umumnya dari Arab yaitu dari Hadramaut. Ulama dan zuhud “Said
Syarif Abdullah bin Jaafar bin Idrus bin Abdullah bin Idrus” misalnya, telah
menyebarkan ajaran agama islam pada masa itu. Beliau wafat di Pelalawan pada
tahun 1821 M. dan dimakamkan di Sungai Mempusun, yang disebut oleh penduduk
sebagai “Makam Keramat Mempusun”. Di Sengkulim, antara Tanjung Negeri dan
Pelalawan, juga diyakini oleh penduduk terdapat makam seorang ulama yang
berpangkat waliullah (makam keramat) yang menyebarkan agama islam pada masa
itu. Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin wafat pada tahun 1822 M. dan
dimakamkan di Komplek Pemakaman Kota di Sungai Rasau Pelalawan. Almarhum diberi
gelar “Marhum Kota”.
Pengganti
Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin adalah puteranya yang tertua yaitu Tengku
Said Hasyim dengan gelar Assyaidis
Syarif Hasyim I. Beliau memerintah dari tahun 1822 M. sampai tahun 1828 M. Beliau
melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh ayahandanya. Salah satu
kebijakan yang dilanjutkan adalah berupaya meningkatkan perekonomian rakyat
Pelalawan, antara lain dengan membuka perdagangan ke Siak melalui hulu Sungai
Rasau sampai ke hulu Sungai Mempura di Kota Tinggi Siak. Jalan lintas ini
disebut Jalan Hulu Sungai yang melewati wilayah Pebatinan Lalang, Delik, dan
Dayun. Assyaidis Syarif Hasyim I dalam kedudukannya sebagai Sultan Pelalawan, juga
menjabat sebagai Raja Muda Siak. Beliau pernah dijemput ke Siak untuk
menyelesaikan sengketa dalam menentukan penggantian Sultan Siak (Sultan
Ibrahim) yang menderita sakit gila. Oleh Syarif Hasyim I, diangkatlah Tengku
Said Muhammad (Panglima Besar Siak) untuk memangku anaknya sendiri yaitu Tengku
Ismail sebagai bakal Sultan Siak. Pelalawan
merupakan kerajaan yang merdeka. Oleh sebab itu, Sultan Pelalawan turut
diikutsertakan dalam menentukan tatalaksana pemerintahan Kerajaan Siak sampai
ke daerah jajahannya. Assyaidis Syarif Hasyim I wafat di Pelalawan pada tahun
1828 M. Almarhum diberi gelar “Marhum Dipertuan Muda” sesuai dengan kedudukan
beliau sebagai Raja Muda Siak.
Almarhum
Assyaidis Syarif Hasyim I digantikan
oleh adindanya, yaitu Tengku Said Ismail
dengan gelar Assyaidis Syarif Ismail
Fachruddin. Beliau memerintah dari tahun 1828 M. sampai tahun 1844 M. Pada
masa tersebut, Sultan membangun kota baru yang terletak di hilir (sebelah
Timur) kota yang ada saat itu. Kota baru tersebut tepatnya berada di seberang
kanan Sungai Rasau arah ke hulu (ke barat). Untuk menghindarkan kesalahpahaman
nama kota, maka Sultan menetapkan nama kota-kota tersebut. Kota yang lama
diberi nama “Kota Jauh” karena
letaknya jauh dari muara Sungai Rasau, sedangkan kota yang baru dibangun diberi
nama “Kota Dekat” karena letaknya
lebih dekat dari muara Sungai Rasau. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif
Ismail tersebut kebudayaan mulai digalakkan. Beliau menghimpun seluruh
pakar-pakar seni budaya rakyat, kemudian menampilkannya di istana dan memberi
jaminan hidup agar terus melanjutkan karya masing-masing. Syarif Ismail pula
yang mulai menata ketentuan-ketentuan adat yang diadatkan, yakni adat yang
diberlakukan di istana dan tidak bersentuhan dengan adat tempatan. Adat yang
diadatkan inilah yang lambat laun disempurnakan oleh pengganti beliau, sehingga
akhirnya disebut Adat Beraja-Rsaja. Beliau wafat pada tahun 1844 M. dan diberi gelar “Marhum Baru” karena
beliaulah yang membangun Kota Baru (Kota Dekat) di Pelalawan. Nama kedua kota tersebut saat ini
hanya dikenal orang untuk nama komplek pemakaman Raja-raja Pelalawan yang
disebut “Makam Jauh” dan “Makam Dekat”, sedangkan negerinya
sudah menjadi belantara.
Setelah
Assyaidis Syarif Ismail Fachruddin wafat, digantikan olah putera Syarif
Abdurrahman yang merupakan adik Syarif Ismail yaitu Tengku Said Hamid dengan
gelar Assyaidis Syarif Abdul Hamid
Abdurrahman Fachruddin (1844 M. – 1866 M.). Pada masa pemerintahan beliau,
perkembangan agama islam sangat pesat. Beliau termasyhur sebagai seorang raja
yang alim dan tinggi ilmu agamanya. Beliau membangun tempat-tempat pengajian,
juga mendatangkan ulama-ulama besar dari luar kerajaan, di antaranya adalah
Syekh Mustafa Al-Khalidy bin Mohammad Baqir dari Sungai Tabir, Jambi. Karena
keshalehan dan kealimannya itulah maka waktu mangkat, Sultan Syarif Abdul Hamid
digelar Marhum Shaleh.
Pengganti
Tengku Said Hamid adalah adindanya, yaitu Tengku Said Jaafar dengan gelar Assyaidis Syarif Jaafar Abdurrahman
Fachruddin yang sebelumnya beliau menjabat sebagai Panglima Besar
Pelalawan. Beliau memerintah dari tahun 1866 M. sampai tahun 1872 M. Walaupun
pemerintahan beliau tidak lama, tetapi banyak meletakkan dasar-dasar kebijakan
yang amat bermanfaat bagi rakyatnya. Beberapa butir kebijakan itu di antaranya
adalah beliau mengangkat wazir berempat atau datuk berempat dengan kedudukan
sebagai orang besar kerajaan Pelalawan yang terdiri dari :
a. Datuk
Engku Raja Lela Putera
Pucuk Pebatinan
yang Kurang Esa Tiga Puluh, yang berkedudukan di Langgam.
b.
Datuk Kampar Samar
Diraja
Mengepalai
urusan adat yang diadatkan, yang berkedudukan di Pangkalan Bunut.
c.
Datuk Laksemana Mangku
Diraja
Mengepalai
penduduk asli yang di luar persukuan pebatinan yang kurang satu tiga puluh,
yang berkedudukan di Pangkalan Pasir (Pangkalan Kuras).
d.
Datuk Bandar Setia
Diraja
Mengepalai adat dalam
anggota persukuannya, bertanggung jawab terhadap orang dagang (pendatang), dan
selaku Syahbandar yang mengurus pancung-alas (pajak) barang-barang
keluar-masuk. Beliau berkedudukan di Pulau Serapung. Itu pula sebabnya beliau
disebut “Datuk Serapung”.
Sultan juga membuat surat keterangan hak-hak tanah
sebagai pengukuhan terhadap hak-hak Pebatinan Yang Kurang Satu Tiga Puluh yang
lazim pula disebut Gran Sultan.Terhadap pemilik atau pemakai tanah, beliau
membuat surat keterangan hutan tanah, baik yang diberikan oleh raja maupun yang
diperoleh seseorang melalui cara lain sepanjang tidak menyalahi ketentuan adat
yang berlaku. Beliau juga memilah masyarakat di Kerajaan Pelalawan menjadi tiga
kelompok, yakni Kelompok Melayu Pesisir, Kelompok Melayu Darat (Petalangan),
dan Kelompok Masyarakat Dagang (Pendatang). Masing-masing kelompok ditentukan
oleh pemimpinnya. Ada yang disesuaikan menurut adat yang berlaku, ada yang
ditetapkan melalui keputusan raja. Sultan wafat pada tahun 1872 M. dan diberi
gelar “Marhum Tengah”.
Pengganti
Tengku Said Jaafar adalah adindanya, yaitu Tengku Said Abubakar dengan gelar Assyaidis Syarif Abubakar bin Abdurrahman
Fachruddin yang sebelumnya beliau menjabat sebagai Panglima Besar
Pelalawan. Beliau memerintah dari tahun 1872 M. sampai tahun 1886 M. Syarif
Abubakar terkenal sebagai pemberani dan penentang Belanda. Upaya beliau dalam
melawan Belanda antara lain, mengadakan hubungan langsung dengan Turki untuk
mendapatkan senjata dan dengan Jambi yang sedang perang dengan Belanda. Selain
itu, beliau juga menjalin hubungan dengan Kamboja dan Thailand melalui tanah
Semenanjung dan Singapura. Kegiatannya diketahui Belanda yang kemudian mendesak
beliau untuk mengadakan perjanjian. Akhirnya hubungan Pelalawan dengan
Turki, Thailand, Kamboja, dan Tanah Semenanjung terputus. Tanggal 4 Februari
1879 M. beliau menandatangani perjanjian “Lange Veklaring” (perjanjian
panjang). Sejak saat itu kekuasaan Belanda mulai masuk Pelalawan, meski tidak
sampai menempatkan aparatnya di sana. Sultan Abubakar tidak berhenti sampai di
situ. Beliau terus mengadakan kontak dengan Sultan Thaha (Jambi), Tengku Ngah
(Siak), dan Tuanku Lintau (Paderi). Sultan Abubakar wafat tahun 1886 M. dan
diberi gelar “Marhum Bungsu”.
Karena
wafat, Sultan Abubakar digantikan untuk sementara oleh puteranya, Tengku Sontol
Said Ali sebagai Wakil Sultan Pelalawan. Pada tanggal 6 Maret 1890 M. beliau
diangkat menjadi Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Sontol Said Ali Abdurrahman Fachruddin. Tengku
Sontol Said Ali memperluas Kota Pelalawan sampai ke Kuala Rasau yang disebut
Ujung Pantai. Beliau memindahkan istananya yang bernama “Istana Melintang” dari
Sungai Rasau ke Ujung Pantai. Oleh karena itu, istana tersebut diubah namanya
menjadi “Istana Ujung Pantai”. Beliau
juga melanjutkan perjuangan ayahandanya melawan penjajahan Belanda dengan
mencoba menghubungi Turki sebagai pemasok senjata. Usaha tersebut gagal karena
Belanda memblokir Kuala Kampar dan Kuala
Indragiri yang selalu dipakai sebagai tempat bongkar-muat senjata. Beliau
terkenal rajin bekerja dan hampir sepanjang karirnya dihabiskan di Balai
Kerapatan (Kantor Sultan) sampai akhirnya mangkat di balai itu pada tahun 1892
M. dengan pembangunan istananya yang masih terbengkalai. Setelah mangkat,
almarhum diberi gelar “Marhum Mangkat di Balai”.
Tengku
Said Hasyim naik tahta menggantikan almarhum adindanya dengan gelar Assyaidis Syarif Hasyim II bin Abubakar
Syahabuddin. Beliau memerintah dari tahun 1892 M. – sampai tahun 1930 M.
Kebijakan awal beliau adalah melanjutkan perjuangan adindanya melawan Belanda
dan meneruskan pembangunan Istana Ujung Pantai yang terbengkalai. Beliau juga
membangun dua sayap di samping kanan dan kiri istana yang berfungsi sebagai
balai. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut Balai Sayap Hulu
yang berfungsi sebagai kantor Sultan dan bangunan di sebelah kiri istana (sebelah hilir) dinamakan Balai Hilir yang
berfungsi sebagai Balai Penghadapan bagi seluruh rakyat Pelalawan. Oleh sebab
itu, istana tersebut juga diberi nama “Istana Sayap”. Nama istana yang terakhir
tersebut dijadikan nama secara permanen hingga saat ini. Sekitar tahun 1896 M.
bangunan istana selesai seluruhnya dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari
Istana Melintang di Kota Dekat ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak saat itu
pusat pemerintahan Kerajaan Pelalawan menetap di pinggir Sungai Kampar. Beliau
membangun perkampungan baru, yakni Kampung Dalam dan Kampung Pinang Sebatang
yang sebelumnya merupakan Dusun Pinang Sebatang. Beliau juga dikenal sangat
memperhatikan sejarah, budaya, dan pendidikan. Oleh sebab itu, beliau
mendirikan Sekolah Dasar di Pelalawan tahun 1905 M, Sekolah Pemerintah di
Pelalawan tahun 1911 M, Sekolah Dasar di Langgam tahun 1924 M, dan Sekolah Desa
di Serapung tahun 1925 M, Sekolah Madrasah Hasyimiah di Pelalawan tahun 1928 M,
dan sebagainya. Dalam bidang sosial budaya beliau mendirikan pula Dharma Adun
Thaniyah, yakni perkumpulan sosial yang kemudian melahirkan Taman Bacaan
Pemuda. Pada masa pemerintahannya, pengaruh Belanda semakin kuat. Dengan
berbagai cara Belanda memaksa beliau untuk mengubah struktur pemerintahan
Pelalawan dengan mengalihfungsikan Wazir Berempat (Datuk Berempat) menjadi Districk
dan para Orang Besar itu menjadi Districk Hoof sebagai berikut :
a. Districk
Langgam, dikepalai oleh Datuk Engku Raja Lela Putra, berkedudukan di Langgam ;
b. Districk
Pangkalan Kuras, dikepalai oleh Datuk Laksemana Mangku Diraja, berkedudukan di
Pangkalan Pasir ;
c. Districk
Bunut, dikepalai oleh Datuk Kampar Samar Diraja, berkedudukan di Pangkalan
Bunut ;
d. Districk
Serapung, dikepalai oleh Datuk Bandar Setia Diraja yang kemudian berganti gelar
menjadi Datuk Bentara, berkedudukan di Serapung dan akhirnya pindah ke Teluk
Meranti.
Perubahan ini juga berarti para Wazir tidak lagi
memegang jabatan menurut asalnya tetapi menjadi kepala wilayah. Pada masa
Sultan Syarif Hasyim II dalam kondisi sudah tua, diangkatlah Tengku Said Osman,
putera tertua Tengku Said Ubaidillah menjadi wakil Sultan dengan gelar Tengku
Pangeran. Sultan Syarif Hasyim II mangkat pada tahun 1930 M. dan dimakamkan di
Pemakaman Mesjid Hibbah Pelalawan (Komplek Pemakaman Raja-Raja Pelalawan).
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat
pemerintahan Kerajaan Pelalawan dari Sungai Rasau ke pinggir Sungai Kampar,
ketika mangkatnya beliau diberi gelar “Marhum Kampar II”.
Karena
putera Almarhum Sultan Syarif Hasyim II masih sekolah di Medan dan umurnya
belum mencukupi untuk ditetapkan menjadi sultan, maka diangkatlah Tengku Said Osman bin Tengku Ubaidillah menjadi
sultan yang bergelar Tengku Pangeran
(Tengku Regent). Beliau memerintah dari tahun 1930 M. sampai tahun 1941 M. Sementara
putera Almarhum Sultan Syarif Hasyim II, Tengku Said Haroen ditetapkan menjadi
Putera Mahkota dengan gelar “Tengku Sulung Negara”. Meski bukan sultan dalam
arti sebenarnya, namun kebijakan dan tanggung jawab Tengku Said Osman sama
dengan sultan. Beliau terkenal berbudi mulia, mencintai rakyat, berjiwa seni,
dan rajin membangun. Pada masa beliau beberapa perubahan dan kemajuan Kerajaan
Pelalawan di bidang pendidikan umum, pendidikan agama, kesenian, olah raga, kepemudaan,
kesehatan, dan perdagangan adalah sebagai
berikut :
1. Selain
sekolah agama yang telah ada di Pelalawan, didirikan pula sekolah-sekolah agama
di tiap-tiap kedudukan districkhoofd. Guru-guru agama didatangkan dari Sumatera
Barat. Sekolah-sekolah tersebut adalah sebagai berikut : Sekolah Agama di
Pangkalan Bunut (1928 M.) guru pertamanya adalah Abdul Halim, Sekolah Agama di
Serapung (1929 M.) guru pertamanya adalah Abdul Halim, dan Sekolah Agama di
Kuala Napuh Pangkalan Kuras (1935 M.) guru pertamanya adalah Zainuddin Ahmad.
2. Pada
tahun 1931 M. didirikan “Koperasi Rakyat” dan “Koperasi Joisa
(Johan-Idrus-Saleh)”
3. Pendirian
Sekolah Desa di Pangkalan Bunut (1931 M.) dan di Pangkalan Kuras (1941 M.).
4. Pada
tahun 1932 M. didirikan poliklinik di Pelalawan di bawah pimpinan Tengku Said
Abdullah.
5. Pada
tahun 1933 M. didirikan perkumpulan pemuda dan olah raga, seperti : DMB
(Didikan Murid Berusaha), kemudian dilebur menjadi PPI (Persatuan Pemuda
Indonesia) dipimpin oleh Tengku Comel Abdul Muthalib Amany. Usaha organisasi
ini antara lain mendirikan “Menyesal Scool” untuk mendidik kaum wanita dan
“Sekolah Tarbiyah” untuk pendidikan agama bagi anak-anak.
6. Pendirian
perkumpulan dan persatuan olah raga, di antaranya PVC (Pelalawan Votball Club)
dibawah pimpinan T. Johan Ubaidillah dan T.S. Jaafar Ubaidillah. Pendirian PPP
(Persatuan Pemuda Pelalawan) dibawah pimpinan T.S. Hamzah, Ali Idris, dan T.S.
Arifin.
7. Pada
tahun 1937 M. didirikan “Taman Penghibur” yang bergerak di bidang kursus
pengetahuan kesenian dan pertunjukan kesenian di bawah pimpinan Tengku Tonel
Said Alwi.
8. Pada
tahun 1939 didirikan “Tonel Penghibur Hati” yang bergerak di bidang sandiwara
di bawah pimpinan Tengku Comel.
9. Pada
tahun 1938 M. didirikan “Wester Lager Onderwyis” (lembaga pendidikan setingkat
HIS) dengan guru pertamanya adalah Mohammad Syarif Amirullah.
Tengku
Said Osman diberhentikan dengan hormat pada tahun 1941 M. Beliau mangkat pada
tahun 1947 M. Karena baik budinya, almarhum diberi gelar “Marhum Budiman”.
Pada tahun 1941 M. Tengku Said
Haroen ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Haroen bin Hasyim Fachruddin (1941 M. – 1945 M.).
Walaupun masa jabatannya singkat, namun banyak terjadi peristiwa penting,
seperti jatuhnya penguasaan Belanda dan Jepang. Terjadinya perang kemerdekaan
dan Proklamasi Kemerdekan RI. Atas kebijakan Sultan bersama desakan masyarakat,
pada tanggal 1 Januari 1945 M. Pelalawan diresmikan menjadi Pelalawan Gun atau
Kewedanaan Pelalawan. Sultan Syarif Haroen ditetapkan sebagai Wedana/Guncho
Pelalawan yang pertama. Kewedanaan Pelalawan terdiri 4 Ku atau kecamatan, yaitu
Bunut Ku, Serapung Ku, Pangkalan Kuras Ku, dan Langgam Ku. Pada bulan Februari
1945 Wedana Pelalawan diserahterimakan kepada Cik Agus. Pada masa pemerintahan
Sultan Syarif Haroen sebagai Raja Pelalawan, beberapa organisasi telah
didirikan, yaitu :
1. Pada
tahun 1943 M. didirikan “Pemesha” (Persatuan Murid Hasyimiah) oleh para pelajar
“Madrasah Hasyimiah”.
2. Padfa
tahun 1943 M. para pemuda mendirikan “Angkatan Muda” di bawah pimpinan Tengku
Johan Ibrahim dan Tengku Nazir. Kemudian para pemuda mendirikan “Perpeka”
(Persatuan Pemuda Kampar) di bawah pimpinan Tengku Anwar Bey dan Tengku Nazir.
3. Pada
tahun 1944 M. didirikan “Jamiatul Khairiah” di bawah pimpinan Abdul Muthalib
Amany dan Ismail Jamal.
4. Pada
tahun 1945 M. didirikan “Taman Kecerdasan” di bawah pimpinan Tengku Said
Arifin.
5. Pada
tahun 1945 M. didirikan organisasi kesenian di bidang sandiwara yang bernama
“Cahaya Pelalawan” di bawah pimpinan Bahrum Azhar.
F.
Zaman
Kemerdekaan (1945 M. – Sekarang)
Pada tanggal 29 Agustus 1945 M. berita resmi
Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta
tanggal 17 Agustus 1945 M, pukul 10.00 WIB yang ditujukan kepada Wedana
Pelalawan dibawa oleh T.S. Sagaf Osman dan Mohammad Tol dari Pekanbaru. Berita
tersebut juga menginstruksikan agar segera menurunkan bendera Jepang dan
menaikkan bendera Merah Putih. Pada tanggal 29 Agustus 1945 M. tengah malam
Wedana Pelalawan mengadakan rapat kilat bersama para pemuka masyarakat, antara
lain : Raja Pelalawan (T.S. Haroen), Eks Regent Pelalawan (T.S. Osman), Jaksa
Pelalawan (T. Tonel), Kepala Polisi Pelalawan (Boenadin), dan pemuka masyarakat
lainnya. Hasil rapat kilat tersebut adalah merupakan kebulatan tekad, sebagai
berikut : “Menyambut baik kemerdekaan
Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh
Soekarno-Hatta dan sehidup semati dengan negara Republik Indonesia serta ikut
berjuang mempertahankannya”. Pada tanggal 30 Agustus 1945 M, pukul 10.00
waktu Sumatera dilaksanakan upacara penaikan bendera Merah Putih dengan khidmat
di halaman kantor Kewedanaan Pelalawan yang dihadiri oleh seluruh aparatur
Pemerintahan Kewedanaan Pelalawan, Kepala Polisi Pelalawan, Sultan Pelalawan,
Para pembesar Kerajaan Pelalawan, Eks Regent Pelalawan, dan seluruh pemuka
masyarakat. Bertindak sebagai inspektur upacara adalah Wedana Pelalawan. Mulai
tanggal 30 Agustus 1945 M. tersebut setiap kantor dan rumah penduduk diwajibkan mengibarkan bendera Merah Putih.
Pada tanggal 28 Oktober 1945 M.
bersempena peringatan Hari Sumpah Pemuda, Sultan
Syarif Haroen berikrar kepada seluruh pembesar kerajaan dan rakyat bahwa “Sultan bersama seluruh rakyat Pelalawan
meleburkan diri ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Pernyataan tersebut beliau ulangi lagi
pada tanggal 29 November 1945 M. di Kota Pelalawan. Karena
Cik Agus (Wedana Pelalawan) diangkat sebagai Kepala Polisi Keresidenan Riau,
maka pada bulan Desember 1945 M. pimpinan pemerintahan Kewedanaan Pelalawan
dipegang oleh T. Said Haroen Wakil Wedana Pelalawan sampai tanggal 27 Juli 1946
M. Pada tanggal 27 Juli 1946 M. Pemerintah Keresidenan Riau menetapkan Amir
Hamzah sebagai Wedana Pelalawan. Atas ketegasan Tengku Said Haroen membela RI, maka
pada tahun 1946 M. beliau diangkat menjadi pegawai RI. Awal karir beliau
sebagai pegawai RI adalah ditetapkan menjadi Asisten Wedana di Bunut. Karena
Amir Hamzah diangkat menjadi Wakil Bupati Indragiri di Rengat, maka pada
tanggal 5 Juli 1947 M. pimpinan pemerintahan Kewedanaan Pelalawan dipegang
kembali oleh Tengku Said Haroen di samping jabatannya sebagai Asisten
Wedana/Camat Bunut. Pada tanggal 20 September 1947 M. kembali Pemerintah
Keresidenan Riau menunjuk Abdul Wahab sebagai Wedana Pelalawan. Karena pada
bulan Juli 1948 M. Abdul Wahab dimutasikan ke Rengat, maka Tengku Said Haroen
ditetapkan kembali menjadi Wakil Wedana Pelalawan di samping jabatannya sebagai
Camat Bunut. Pada tahun 1949 M. Tengku Said Haroen diangkat menjadi Dirigent
Territorial Officer meliputi daerah Lipat Kain, Teratak Buluh, dan seluruh
wilayah bekas kerajaan Pelalawan. Jabatan tersebut lazim disebut Komandan
Pangkalan Grilya. Karena Belanda beserta sekutunya mulai menduduki Indonesia
kembali, khusunya menduduki Pekanbaru sejak 1 Januari 1949 M, maka mulai
tanggal 26 Maret 1949 M. Kewedanaan Pelalawan dipimpin oleh Wedana Militer
untuk memudahkan pengerahan rakyat dalam membantu perjuangan dan untuk
melindungi kepentingan rakyat. Setelah penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda dan
sekutunya pada tahun 1950 M, Tengku Said Haroen diangkat menjadi Wedana
Pelalawan. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal
14 Januari 1950 M. nomor 3/DC/STE/50 menetapkan bahwa Kewdanaan Pelalawan
dengan beberapa wilayah kecamatan di bawah lingkungannya termasuk ke dalam
Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 1956 M. Kewedanaan Pelalawan
bergabung ke dalam Wilayah Kabupaten Kampar. Pada tahun 1959 M. Wedana
Pelalawan, Tengku Said Haroen, mangkat. Karena kesetiaan dan kepatuhan terhadap
Negara Kesatuan RI, maka setelah mangkat almarhum diberi gelar “Marhum Setia
Negara”.
Setelah
Tengku Said Haroen mangkat, jabatan Wadana Pelalawan dipegang oleh Tengku Said
Jaafar. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 1963 M. tentang
penghapusan Keresidenan dan Kewedanaan serta instruksi Gubernur Kepala Daerah
Riau nomor Inst/03/II/1964 tanggal 10 Februari 1964 M. tentang penghapusan
Kewedanaan, maka pada bulan Maret 1964 M. Kewedanaan Pelalawan resmi
dihapuskan. Pelalawan yang dahulunya sebagai ibu kota Kewedanaan berubah
menjadi ibu kota yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan
Kepenghuluan/Kedesaan dengan nama Kepenghuluan/Desa Pelalawan.
Kepenghuluan/Desa Pelalawan tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Bunut,
Kabupaten Kampar. Berdasarkan UU Nomor ,
tanggal 12 Oktober 1999 Kabupaten Kampar dipecah menjadi 3 kabupaten, yaitu :
Kabupaten Kampar (induk), Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Pelalawan.
“Pelalawan” digunakan sebagai nama kabupaten adalah mengacu kepada sejarah
asal-usul dan perjalanan Kerajaan Pelalawan yang sirna ditelan masa ibarat
batang kayu yang tenggelam. Atas tekad “membangkitkan/mengangkat batang kayu
yang tenggelam tersebut, maka para tokoh masyarakat Pelalawan dan sekitarnya
berjuang bahu-membahu untuk mendirikan sebuah kabupaten di Kampar wilayah
hilir. Dengan perjuangan tersebut, lahirlah sebuah kabupaten yang diberi nama
“Kabupaten Pelalawan”. Bersamaan berdirinya Kabupaten Pelalawan, berdiri sebuah kecamatan persiapan yang diberi
nama “Kecamatan Pembantu
Pelalawan” yang membawahi Desa Pelalawan, Sungai
Ara, Ransang, Kuala Tolam, Sering, Telayap, Lalang Kabung, Delik, dan Delima
Jaya. Kecamatan Pembantu Pelalawan merupakan pecahan dari Kecamatan Bunut dan
yang menjabat sebagai Camat Pembantu adalah Drs. Tengku Mukhlis. Setelah berjalan kurang dari
dua tahun, maka status Kecamatan Pembantu Pelalawan
ditingkatkan menjadi kecamatan definitif yang diberi
nama “Kecamatan Pelalawan”. Camat pertama yang memimpin Kecamatan Pelalawan
adalah Drs. Tengku Mukhlis. Saat ini status Desa Pelalawan juga telah
ditingkatkan menjadi kelurahan dengan nama “Kelurahan Pelalawan”. Penjabat
Lurah pertama yang memimpin Kelurahan Pelalawan adalah H. Zaifuddin Bsr.
Sebagai
simbol sejarah asal usul dan perjalanan panjang Kerajaan Pelalawan, di
Kelurahan Pelalawan terdapat istana peninggalan Kerajaan Pelalawan yang berdiri
megah. Istana tersebut diberi nama “Istana Sayap”.
0 komentar:
Posting Komentar