0

Asal Usul Kota Pelalawan (Lengkap)



            Asal usul Pelalawan berawal dari sebuah kerajaan yang diberi nama “Kerajaan Pekantua”. Kerajaan Pekantua berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Temasik (Singapura) dan Malaka. Kerajaan Pekantua berada di tepi Sungai Pekantua, anak sungai Kampar yang sekarang telah menjadi wilayah Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Kerajaan tersebut didirikan oleh Maharaja Indera pada tahun    1380 M. Pusat pemerintahan bekas Kerajaan Pekantua berjarak lebih kurang 45 km dari kota Pangkalan Kerinci. Wilayah tersebut dapat ditempuh melalui jalan darat dengan cara menyusuri jalan Lintas Timur dan jalan Lintas Bono serta dapat pula ditempuh melalui jalan air dengan cara menyusuri Aliran Sungai Kampar.
            Pendiri Kerajaan Pekantua, Maharaja Indera, adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik yang takluk kepada Kerajaan Majapahit pada akhir abad XIV. Sementara Raja Temasik yang terakhir bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan diri ke Tanah Semenanjung dan mendirikan Kejaan Malaka. Kerajaan Malaka akhirnya berkembang pesat menjadi Imperium Melayu sampai akhirnya kalah dari Portugis pada tahun 1511 M.
            Sejarah perjalanan Kerajaan Pekantua bermula pada tahun 1380 M. dan berakhir pada tahun 1946 M. Dalam perjalanannya, Kerajaan tersebut beralih nama menjadi “Kerajaan Pekantua Kampar” dan terakhir menjadi “Kerajaan Pelalawan”. Pusat pemerintahannya pun berpindah-pindah dari Sungai Pekantua ke Bandar Tolam (sekarang : Desa Kuala Tolam) kemudian pindah ke Tanjung Negeri di Sungai Nilo. Setelah itu berpindah pula ke Sungai Rasau (Kota Jauh dan Kota Dekat), terakhir berpindah ke Kuala Sungai Rasau atau disebut juga dengan Ujung Pantai di pinggir Sungai Kampar. Di tempat ini Sultan bersama masyarakat Pelalawan membangun perkampungan baru yang disebut Kampung Dalam dan Kampung Pinang Sebatang. Terakhir Kampung Dalam disebut Dusun Raja dan Kampung Pinang Sebatang disebut Dusun Pinang Sebatang. Pada awal zaman kemerdekaan, banyak masyarakat pendatang dari wilayah pedalaman atau daratan yang berpindah dan menetap di Pelalawan sehingga terbukalah sebuah dusun baru yang diberi nama Dusun Makmur.
            Sejarah perjalanan Kerajaan Pelalawan dikelompokkan menjadi 6 zaman, yaitu :

A.      Zaman Pekantua atau Dinasti Temasik (1380 – 1505 M.)

Raja pertama yang mendirikan Kerajaan Pekantua adalah Maharaja Indera yang memerintah dari tahun 1380 M. sampai tahun 1420 M.. Untuk menunjukkan rasa syukur dapat melarikan diri dari kejaran Majapahit di Temasik dan keberhasilannya mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Pekantua, beliau membangun Candi Hyang di Bukit Tuo yang sekarang termasuk wilayah Desa Lubuk Mas, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan.
Setelah Maharaja Indera wafat, digantikan oleh puteranya yang bergelar Maharaja Pura yang memerintah dari tahun 1420 M. sampai tahun 1445 M. Pada masa pemerintahannya beliau terus berusaha mengembangkan Pekantua menjadi bandar besar di perairan Sungai Kampar.
Maharaja   Pura   digantikan    oleh    anaknya    yang   bergelar   Maharaja  Laka   yang
memerintah dari tahun 1445 M. sampai tahun 1460 M. Pada saat itu hubungan dagang dengan Malaka yang telah dirintis oleh ayahndanya terus ditingkatkan.
Maharaja Laka wafat dan digantikan oleh Maharaja Syisya yang memerintah dari tahun 1460 M. sampai tahun 1480 M. Beliau membangun bandar baru di seberang hulu Bandar Pekantua yang dinamakan Bandar Nasi dan terakhir bernama Bandar Nasi Nasi. Bandar tersebut berkembang menjadi pusat perniagaan sehingga kerajaan memiliki dua bandar di mana Bandar Pekantua tetap berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Maharaja Syisya wafat dan digantikan oleh Maharaja Jaya yang memerintah dari tahun 1480 M. sampai tahun 1505 M. Pada saat Maharaja Jaya memerintah, Pekantua diserang oleh Kerajaan Melaka di bawah pimpinan Sri Nara Diraja. Pada saat itu sultan yang memerintah Melaka adalah Sultan Mansyur Syah. Pasukan Melaka dihadang oleh Maharaja Jaya tetapi beliau tewas dan Kerajaan Pekantua berikut Bandar Nasi-Nasi jatuh ke tangan Malaka.

B.       Zaman Pekantua Kampar atau Dinasti Malaka (1505 – 1590 M.)

Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah mengangkat Munawar Syah menjadi raja Pekantua yang memerintah dari tahun 1505 M. sampai tahun 1511 M. Pada waktu itu nama pekantua diganti menjadi Kerajaan Pekantua Kampar yang lambat laun dikenal pula sebagai Kerajaan Kampar.
Setelah Raja Munawar Syah wafat, penggantinya adalah puteranya yaitu Raja Abdullah yang memerintah dari tahun 1511 M. sampai tahun 1515 M. Saat itulah, yaitu pada tahun 1511 M. Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah I ditaklukkan  Portugis. Sultan Mahmud Syah I bersama isterinya, Tun Fatimah, puteranya, Raja Ahmad dan orang-orang besar Kerajaan Malaka mundur ke Pagoh, Muar, kemudian sampai ke kota Kara dan Kopak di Pulau Bintan. Raja Abdullah yang telah dijadikan menantu oleh Sultan Mahmud Syah I ternyata tidak berpihak kepada mertuanya karena berharap dijadikan Sultan Malaka oleh Portugis. Setelah Sultan Mahmud Syah I mengetahui pengkhianatan sang Menantu, Raja Abdullah, maka dikirimlah pasukan untuk menyerang Pekantua di bawah pimpinan menantunya yang lain yaitu Raja Lingga. Raja Abdullah telah diselamatkan dan diungsikan ke Malaka oleh Portugis. Pasukan Sultan Mahmud Syah I dipukul mundur oleh Portugis kemudian kembali ke Bintan melalui Indragiri. Terakhir Raja Abdullah dihukum bunuh oleh Portugis karena dianggap tidak diperlukan lagi.
Setelah Raja Abdullah wafat, di Kerajaan Pekantua Kampar terjadi kekosongan pimpinan. Agar roda pemerintahan tetap berjalan, diangkatlah orang besar kerajaan untuk memangku raja yang disebut Datuk Mangkubumi yang memerintah dari tahun 1515 M. sampai tahun 1526 M. Pada saat itu Datuk Mangkubumi membantu Sultan Mahmud Syah I melawan Portugis di perairan Selat Malaka. Pekantua dipersiapkan sebagai kubu pertahanan terakhir.
Sultan Mahmud Syah I yang terus berjuang melawan Portugis, mundur ke Pekantua Kampar karena benteng kota Kara dan Kopak di Pulau Bintan direbut Portugis. Sultan Mahmud Syah I dilantik menjadi raja Pekantua Kampar yang memerintah dari tahun 1526 M. sampai tahun 1528 M. Beliau berusaha menyusun kekuatan melawan Portugis. Beliau memperbesar benteng-benteng yang dibuat oleh Datuk Mangkubumi. Benteng yang paling terkenal adalah Kubu Kerumutan atau disebut juga dengan Kubu Pangkalan Malaka (sekarang disebut Desa Pangkalan Melaka, Kecamatan Kerumutan). Beliau juga membangun Kubu Panduk (sekarang disebut Desa Pangkalan Panduk, Kecamatan Kerumutan) dan Kubu Bandar Nasi Nasi (termasuk wilayah Kelurahan Pelalawan, Kecamatan Pelalawan). Sultan Mahmud Syah I mangkat pada tahun 1528 M. dan dimakamkan di Pekantua (sekarang disebut Dusun Pekantua, Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan). Almarhum diberi gelar Marhum Kampar I. Menurut Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, isteri baginda, Tun Fatimah, telah terlebih dahulu mangkat dan dimakamkan di Pekantua Kampar.
Sultan Alauddin Riayat Syah II dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Pekantua Kampar menggantikan ayahnya, Sultan Mahmud Syah I karena wafat. Sultan Alauddin Riayat Syah II memerintah dari tahun 1528 M. sampai tahun 1530 M. Beliau juga dikenal sebagai raja di seluruh wilayah bekas Kerajaan Malaka. Pada tahun 1529 M, beliau berangkat ke Pahang bersama bendahara Tun Isap,  Laksemana  Hang  Nadim  dan  seluruh  orang  besar  kerajaanny
sampai beberapa waktu yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Johor ke-2.
Karena Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar, maka Mangkubumi Tun Perkasa diangkat sebagai pemangku raja. Mangkubumi Tun Perkasa memerintah dari tahun 1530 M. sampai tahun 1551 M. Tidak ada sejarah tertulis maupun lisan mengenai masa pemerintahan beliau.
Pengganti Mangkubumi Tun Perkasa adalah Mangkubumi Tun Hitam. Beliau memerintah Kerajaan Pekantua Kampar dari tahun 1551 M. sampai tahun 1575 M. Pada masa pemerintahan beliau pun tidak ada data sejarah tertulis maupun lisan mengenai perjalanan Kerajaan Pekantua Kampar.
Mangkubumi Tun Hitam mangkat pada tahun 1575 M. dan digantikan oleh Mangkubumi Tun Megat yang memerintah dari tahun 1575 M. sampai tahun 1590 M. Pada masa pemerintahan beliau, hubungan antara Johor dan Pekantua Kampar yang nyaris terputus akibat gangguan Portugis kembali dihidupkan. Pada tahun 1590 M. Mangkubumi Tun Megat mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuk Batin Muncak Rantau, Tuk Patih Jambuano, dan Tuk Raja Bilang Bungsu ke Johor supaya Sultan Johor waktu itu Sultan Alim Jalla Abdul Jalil Syah I berkenan mengangkat raja di Pekantua Kampar karena raja Pekantua Kampar sebelumnya yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah II telah mangkat. Untuk mengabulkan permintaan Mangkubumi Tun Megat maka Sultan Alim Jalla Abdul Jalil Syah I mengangkat raja Pekantua Kampar dari kalangan keluarga dekatnya, yaitu Raja Abdurrahman.
   
C.      Zaman Pekantua Kampar atau Dinasti Johor (1590 – 1720 M.)

Di Pekantua Kampar, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharaja Dinda I. Beliau memerintah dari tahun 1590 M. sampai tahun 1630 M. Pada masa pemerintahannya, Pekantua Kampar maju pesat. Hubungan dagang dengan Johor, Kuantan, dan lain-lainnya terus ditingkatkan. Sekitar tahun 1595 M. beliau membangun Bandar Tolam (sekarang Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan) yang berada di sebelah hilir Pekantua. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Bandar Tolam karena lebih mudah melakukan hubungan laut melalui Sungai Kampar dan hubungan darat melalui Pangkalan Bunut ke wilayah Petalangan. Pada masa itu pula datang utusan dari Pagarruyung untuk menentukan tapal batas antara adat Johor dan adat Perpatih (Minangkabau). Setelah diadakan pertemuan kedua belah pihak, disepakati bahwa perbatasan antara keduanya adalah kawasan Sigalang yang terletak di antara Langgam dan Suangai Terusan. Dalam perkembangannya sebutan Adat Johor lazim diubah menjadi Adat Melayu Pesisir di mana kelompok masyarakatnya lazim mendiami wilayah pesisir Sungai Kampar dan wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh adat Perpatih lazim disebut Adat Petalangan di mana kelompok masyarakatnya lazim mendiami wilayah pedalaman atau daratan. Untuk mendukung kemajuan perdagangan, Maharaja Dinda I membangun limbungan kapal atau pabrik pembuatan kapal di Petatalan, tidak jauh dari Telawa Kandis (sekarang wilayah tersebut termasuk Desa Ransang, Kecamatan Pelalawan).
Setelah Maharaja Dinda I wafat, penggantinya adalah anakndanya yang bergelar Maharaja Lela I. Beliau memerintah dari tahun 1630 M. sampai tahun 1650 M. Maharaja Lela I meningkatkan upaya perdagangan dengan membangun pusat-pusat pelabuhan dagang, antara lain Bandar Telawa Kandis di hilir Kuala Tolam (sekarang termasuk wilayah Desa Ransang, Kecamatan Pelalawan), Bandar Panduk di hilir Sungai Panduk (sekarang Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk Meranti), dan Bandar Teluk Binjai di hulu Kuala Sungai Kerumutan (sekarang Desa Teluk Binjai, Kecamatan Teluk Meranti).
Pengganti Maharaja Lela I adalah Maharaja Lela Bangsawan yang memerintah dari

tahun  1650  M.  sampai  tahun  1675  M.  Pada   masa   itu   tidak  banyak  catatan  sejarah.  Tapi
disebutkan bahwa beliau meneruskan kebijakan raja-raja sebelumnya dalam perdagangan. Upaya ini tidak banyak berhasil karena di Selat Malaka terjadi perebutan kekuasaan antara Belanda, Portugis, Aceh, dan sebagainya.
            Maharaja Lela Utama adalah pengganti Maharaja Lela Bangsawan karena wafat. Beliau memerintah dari tahun 1675 M. sampai tahun 1686 M. Maharaja Lela Utama memindahkan pusat kerajaan dari Bandar Tolam ke Tanjung Negeri di Sungai Nilo. Alasan pemindahan tidak banyak diketahui, tetapi diduga karena Bandar Tolam sering diganggu lanun dari Selat Malaka, termasuk serangan Belanda dan Aceh.
            Pengganti Maharaja Lela Utama adalah Maharaja Wangsa Jaya yang memerintah dari tahun 1685 M. sampai tahun 1691 M. Pada masa pemerintahan beliau, Tanjung Negeri terjadi wabah penyakit yang banyak memakan korban jiwa, tetapi pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan karena dianggap masih sangat baru. Akhirnya beliau wafat karena penyakit menular tersebut.
            Karena Maharaja Wangsa Jaya wafat, tampuk pemerintahan digantikan oleh puteranya, Maharaja Muda Lela. Beliau memerintah dari tahun 1691 M. sampai tahun 1720 M. Pada masa tersebut beliau berusaha memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial akibat wabah penyakit yang banyak membawa korban termasuk ayahandanya. Tapi usaha tersebut belum berhasil karena ditentang oleh pembesar kerajaan. Pada masa pemerintahannya, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai Nilo.

D.      Zaman Pelalawan atau Dinasti Johor (1720 – 1798 M.)

Maharaja Dinda II menggantikan ayahandanya, Maharaja Muda Lela. Beliau memerintah dari tahun 1720 M. sampai tahun 1750 M. Pada masa itu akhirnya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) oleh moyangnya, Maharaja Lela Utama, yakni di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo. Sekitar tahun 1725 M, dilakukan upacara pemindahan kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Pada upacara adat tersebut, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar diganti menjadi Kerajaan Pelalawan. Nama Pelalawan diambil dari kata lalau (pe-lalau-an) yang berarti penandaan/pencadangan. Gelar “Maharaja Dinda II” juga disempurnakan menjadi “Maharaja Dinda Perkasa” atau disebut “Maharaja Lela Dipati”.
Setelah Maharaja Lela Dipati mangkat, tampuk pemerintahan digantikan oleh anakndanya, Maharaja Lela Bungsu (1750 M. – 1775 M.). Maharaja Lela Bungsu memerintah dengan arif dan sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Beliau juga yang mula-mula membuat rumah di atas air (dengan pelampung yang terbuat dari rakitan kayu-kayu balok) sebagai tempat kediamannya yang disebut Rumah Rakit, dan masyarakat banyak yang membuat rakit sebagai rumah tinggal. Sultan Siak pada periode 1761 M. – 1766 M. mengirim utusan ke Pelalawan agar Pelalawan bernaung di bawah Kerajaan Siak. Sekaligus mengaku sebagai pewaris tahta Johor yang waktu itu dipegang oleh Sultan Sulaiman. Sultan Pelalawan menolak dan berkata bahwa Pelalawan hakekatnya berdiri sendiri karena Johor pun sudah berganti raja yang bukan keturunan Sultan Mahmud Syah I. Akhirnya Pelalawan diserang oleh Siak di bawah pimpinan Panglima Perang Siak, Said Osman. Pertempuran berlangsung sangat sengit di Benteng pertahanan Pelalawan yaitu di Kuala Mempusun. Pelalawan berhasil memukul mundur Siak. Menurut cerita yang masyhur, berdasarkan anjuran Panglima Kerajaan Pelalawan saat itu, Datuk Maharaja Sinda, agar menentang Siak, maka seluruh pembesar Kerajaan mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan terhadap Siak ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok  menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siak masih ada hingga saat ini yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak) walaupun sudah diperbaiki berulang-ulang.
Pengganti Maharaja Lela Bungsu adalah Maharaja Lela II (1775 M. – 1798 M.). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Siak Sri Indera Pura telah mengembangkan wilayah ke pesisir timur Pulau Sumatera dan berhasil menguasai daerah Temiang, Bilah, Panai, Kualuh, Batu  Bahara, Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Tanjung Pura, dan sebagainya bahkan sampai ke Sambas Kalimantan Barat namun gagal. Sultan Siak pada saat itu, Syarif Ali, mengirim  angkatan perangnya untuk menyerang Pelalawan di bawah pimpinan Panglima Besar Siak, Syarif Abdul Rahman. Serangan Siak ke Palalawan yang kedua tersebut dilakukan melalui dua arah serangan yaitu pasukan angkatan daratnya melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan lautnya melalui muara Sungai Kampar. Pertempuran tersebut berlangsung sengit. Panglima perang Kerajaan Pelalawan satu per satu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangnya, Zubaidah, gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Akhirnya Kerajaan Pelalawan pun takluk. Kekalahan tersebut juga dikarenakan adanya pengkhianatan dari salah seorang masyarakat Pelalawan yang berasal dari Siak, yaitu orang tersebut menyirami seluruh mesiu yang berada di gudang Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Sultan Pelalawan beserta beberapa pengikutnya mengungsikan diri ke Luhak Berlima (daerah Kuantan Indragiri). Jenazah Panglima Kudin dan tunangnya dimakamkan di Kampung Pinang Sebatang Pelalawan.      

E.       Zaman Pelalawan atau Dinasti Siak (1798 – 1945 M.)
           
            Syarif Abdul Rahman bin Said Osman Syahabuddin ditabalkan sebagai Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin. Beliau memerintah dari tahun 1798 M. sampai tahun 1822 M. Penaklukan Pelalawan berbeda dengan penaklukan wilayah lainnya karena sejak berdirinya Kerajaan Siak, Pelalawan tidak mengakuinya sebagai Yang Dipertuan. Hal ini disebabkan Pelalawan tidak mengakui Raja Kecil (pendiri Kerajaan Siak) sebagai putera Sultan Mahmud Syah II, tetapi beliau berasal dari Pagarruyung Minangkabau. Pelalawan tetap mengakui Johor sebagai Yang Dipertuan karena Datuk-Datuk (Raja) yang memerintah Pelalawan berasal dari Johor (keturunan Sultan Mahmud Syah II, Sultan Johor). Sultan Siak juga mengakui sebagai pewaris tahta Johor karena Raja Kecil adalah putera Sultan Mahmud Syah II. Walaupun sudut pandang kedua belah pihak sedikit berbeda, tetapi Sultan Siak (Syarif Ali) dapat mengambil suatu kebijakan yang arif yaitu Pelalawan tidak diperlakukan sebagai jajahan, melainkan diberi kekuasaan penuh memerintah kerajaannya sendiri. Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin berlaku hati-hati dalam memerintah Pelalawan. Usaha pertama yang dilakukan adalah mendekati orang-orang besar Pelalawan. Beliau membuat maklumat yang isinya semua Orang Besar Pelalawan, termasuk Batin-Batin, Penghulu, dan kepala-kepala persukuan tetap pada kedudukan semula serta menguasai hak milik mereka seperi sedia kala. Penduduk yang melarikan diri selama perang dihimbau segera kembali dan dijamin keselamatnnya. Datuk Engku Raja Lela Putera (Maharaja Lela II) diangkat kembali sebagai Orang Besar Kerajaan Pelalawan membawahi seluruh perangkat pemerintahan yang dahulu ada sekaligus menjadi Pucuk Adat Tempatan, yaitu Pucuk Pebatinan Yang Kurang Esa Tiga Puluh atau 29 Batin. Sultan juga melakukan ikatan persaudaraan dengan Maharaja Lela II yang disebut “Begito” yaitu pengakuan persaudaraan dunia akhirat. Usaha tersebut menimbulkan simpati rakyat. Orang-orang besar kembali kepada kedudukannya dan rakyat kembali ke kampungnya, namun pucuk pimpinan tertinggi tetaplah di tangan Sultan. Sultan Assyaidis   Syarif   Abdurrahman  Fachruddin  berusaha  menata  kembali  perekonomian  rakyat dengan memberikan kesempatan luas kepada rakyat untuk melakukan perdagangan ke luar daerah kerajaan. Hasil hutan yang melimpah ruah dibawa ke luar daerah, sebagian kecil hasilnya dipungut untuk pajak yang disebut Pancung Alas. Pancung Alas tersebut dimanfaatkan untuk menambah penghasilan orang-orang besar Pelalawan termasuk Batin, Penghulu, dan para kepala persukuan. Ekonomi berkembang pesat menyebabkan kota Pelalawan semakin ramai. Oleh sebab itu, Sultan memperluas Ibu kota Kerajaan Pelalawan (kota yang telah ada sebelumnya) yang terletak di sebelah hulu (barat) Sungai Rasau, tepatnya di seberang kiri Sungai Rasau arah ke hulu (ke barat) menjadi sebuah kota yang ramai. Pada masa pemerintahan beliau, penyebaran ajaran agama islam berkembang pesat. Pada masa itu pelawat-pelawat dan pedagang-pedagang asing telah memasuki daerah-daerah di aliran Sungai Kampar, termasuk Pelalawan. Para pelawat atau pedagang tersebut umumnya dari Arab yaitu dari Hadramaut. Ulama dan zuhud “Said Syarif Abdullah bin Jaafar bin Idrus bin Abdullah bin Idrus” misalnya, telah menyebarkan ajaran agama islam pada masa itu. Beliau wafat di Pelalawan pada tahun 1821 M. dan dimakamkan di Sungai Mempusun, yang disebut oleh penduduk sebagai “Makam Keramat Mempusun”. Di Sengkulim, antara Tanjung Negeri dan Pelalawan, juga diyakini oleh penduduk terdapat makam seorang ulama yang berpangkat waliullah (makam keramat) yang menyebarkan agama islam pada masa itu. Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin wafat pada tahun 1822 M. dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Kota di Sungai Rasau Pelalawan. Almarhum diberi gelar “Marhum Kota”.
            Pengganti Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin adalah puteranya yang tertua yaitu Tengku Said Hasyim dengan gelar Assyaidis Syarif Hasyim I. Beliau memerintah dari tahun 1822 M. sampai tahun 1828 M. Beliau melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh ayahandanya. Salah satu kebijakan yang dilanjutkan adalah berupaya meningkatkan perekonomian rakyat Pelalawan, antara lain dengan membuka perdagangan ke Siak melalui hulu Sungai Rasau sampai ke hulu Sungai Mempura di Kota Tinggi Siak. Jalan lintas ini disebut Jalan Hulu Sungai yang melewati wilayah Pebatinan Lalang, Delik, dan Dayun. Assyaidis Syarif Hasyim I dalam kedudukannya sebagai Sultan Pelalawan, juga menjabat sebagai Raja Muda Siak. Beliau pernah dijemput ke Siak untuk menyelesaikan sengketa dalam menentukan penggantian Sultan Siak (Sultan Ibrahim) yang menderita sakit gila. Oleh Syarif Hasyim I, diangkatlah Tengku Said Muhammad (Panglima Besar Siak) untuk memangku anaknya sendiri yaitu Tengku Ismail sebagai bakal Sultan Siak. Pelalawan  merupakan kerajaan yang merdeka. Oleh sebab itu, Sultan Pelalawan turut diikutsertakan dalam menentukan tatalaksana pemerintahan Kerajaan Siak sampai ke daerah jajahannya. Assyaidis Syarif Hasyim I wafat di Pelalawan pada tahun 1828 M. Almarhum diberi gelar “Marhum Dipertuan Muda” sesuai dengan kedudukan beliau sebagai Raja Muda Siak.
            Almarhum Assyaidis Syarif Hasyim I digantikan oleh adindanya, yaitu Tengku Said Ismail dengan gelar Assyaidis Syarif Ismail Fachruddin. Beliau memerintah dari tahun 1828 M. sampai tahun 1844 M. Pada masa tersebut, Sultan membangun kota baru yang terletak di hilir (sebelah Timur) kota yang ada saat itu. Kota baru tersebut tepatnya berada di seberang kanan Sungai Rasau arah ke hulu (ke barat). Untuk menghindarkan kesalahpahaman nama kota, maka Sultan menetapkan nama kota-kota tersebut. Kota yang lama diberi nama “Kota Jauh” karena letaknya jauh dari muara Sungai Rasau, sedangkan kota yang baru dibangun diberi nama “Kota Dekat” karena letaknya lebih dekat dari muara Sungai Rasau. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ismail tersebut kebudayaan mulai digalakkan. Beliau menghimpun seluruh pakar-pakar seni budaya rakyat, kemudian menampilkannya di istana dan memberi jaminan hidup agar terus melanjutkan karya masing-masing. Syarif Ismail pula yang mulai menata ketentuan-ketentuan adat yang diadatkan, yakni adat yang diberlakukan di istana dan tidak bersentuhan dengan adat tempatan. Adat yang diadatkan inilah yang lambat laun disempurnakan oleh pengganti beliau, sehingga akhirnya disebut Adat Beraja-Rsaja. Beliau wafat pada tahun 1844 M. dan  diberi  gelar “Marhum Baru” karena beliaulah yang membangun Kota Baru (Kota Dekat) di Pelalawan. Nama kedua kota tersebut saat ini hanya dikenal orang untuk nama komplek pemakaman Raja-raja Pelalawan yang disebut “Makam Jauh” dan “Makam Dekat”, sedangkan negerinya sudah menjadi belantara.
            Setelah Assyaidis Syarif Ismail Fachruddin wafat, digantikan olah putera Syarif Abdurrahman yang merupakan adik Syarif Ismail yaitu Tengku Said Hamid dengan gelar Assyaidis Syarif Abdul Hamid Abdurrahman Fachruddin (1844 M. – 1866 M.). Pada masa pemerintahan beliau, perkembangan agama islam sangat pesat. Beliau termasyhur sebagai seorang raja yang alim dan tinggi ilmu agamanya. Beliau membangun tempat-tempat pengajian, juga mendatangkan ulama-ulama besar dari luar kerajaan, di antaranya adalah Syekh Mustafa Al-Khalidy bin Mohammad Baqir dari Sungai Tabir, Jambi. Karena keshalehan dan kealimannya itulah maka waktu mangkat, Sultan Syarif Abdul Hamid digelar Marhum Shaleh.
            Pengganti Tengku Said Hamid adalah adindanya, yaitu Tengku Said Jaafar dengan gelar Assyaidis Syarif Jaafar Abdurrahman Fachruddin yang sebelumnya beliau menjabat sebagai Panglima Besar Pelalawan. Beliau memerintah dari tahun 1866 M. sampai tahun 1872 M. Walaupun pemerintahan beliau tidak lama, tetapi banyak meletakkan dasar-dasar kebijakan yang amat bermanfaat bagi rakyatnya. Beberapa butir kebijakan itu di antaranya adalah beliau mengangkat wazir berempat atau datuk berempat dengan kedudukan sebagai orang besar kerajaan Pelalawan yang terdiri dari :
a.       Datuk Engku Raja Lela Putera
Pucuk Pebatinan yang Kurang Esa Tiga Puluh, yang berkedudukan di Langgam.
b.      Datuk Kampar Samar Diraja
Mengepalai urusan adat yang diadatkan, yang berkedudukan di Pangkalan Bunut.
c.       Datuk Laksemana Mangku Diraja
Mengepalai penduduk asli yang di luar persukuan pebatinan yang kurang satu tiga puluh, yang berkedudukan di Pangkalan Pasir (Pangkalan Kuras).
d.      Datuk Bandar Setia Diraja
Mengepalai adat dalam anggota persukuannya, bertanggung jawab terhadap orang dagang (pendatang), dan selaku Syahbandar yang mengurus pancung-alas (pajak) barang-barang keluar-masuk. Beliau berkedudukan di Pulau Serapung. Itu pula sebabnya beliau disebut “Datuk Serapung”.
Sultan juga membuat surat keterangan hak-hak tanah sebagai pengukuhan terhadap hak-hak Pebatinan Yang Kurang Satu Tiga Puluh yang lazim pula disebut Gran Sultan.Terhadap pemilik atau pemakai tanah, beliau membuat surat keterangan hutan tanah, baik yang diberikan oleh raja maupun yang diperoleh seseorang melalui cara lain sepanjang tidak menyalahi ketentuan adat yang berlaku. Beliau juga memilah masyarakat di Kerajaan Pelalawan menjadi tiga kelompok, yakni Kelompok Melayu Pesisir, Kelompok Melayu Darat (Petalangan), dan Kelompok Masyarakat Dagang (Pendatang). Masing-masing kelompok ditentukan oleh pemimpinnya. Ada yang disesuaikan menurut adat yang berlaku, ada yang ditetapkan melalui keputusan raja. Sultan wafat pada tahun 1872 M. dan diberi gelar “Marhum Tengah”.
            Pengganti Tengku Said Jaafar adalah adindanya, yaitu Tengku Said Abubakar dengan gelar Assyaidis Syarif Abubakar bin Abdurrahman Fachruddin yang sebelumnya beliau menjabat sebagai Panglima Besar Pelalawan. Beliau memerintah dari tahun 1872 M. sampai tahun 1886 M. Syarif Abubakar terkenal sebagai pemberani dan penentang Belanda. Upaya beliau dalam melawan Belanda antara lain, mengadakan hubungan langsung dengan Turki untuk mendapatkan senjata dan dengan Jambi yang sedang perang dengan Belanda. Selain itu, beliau juga menjalin hubungan dengan Kamboja dan Thailand melalui tanah Semenanjung dan Singapura. Kegiatannya diketahui Belanda yang kemudian mendesak  beliau  untuk mengadakan perjanjian. Akhirnya hubungan Pelalawan dengan Turki, Thailand, Kamboja, dan Tanah Semenanjung terputus. Tanggal 4 Februari 1879 M. beliau menandatangani perjanjian “Lange Veklaring” (perjanjian panjang). Sejak saat itu kekuasaan Belanda mulai masuk Pelalawan, meski tidak sampai menempatkan aparatnya di sana. Sultan Abubakar tidak berhenti sampai di situ. Beliau terus mengadakan kontak dengan Sultan Thaha (Jambi), Tengku Ngah (Siak), dan Tuanku Lintau (Paderi). Sultan Abubakar wafat tahun 1886 M. dan diberi gelar “Marhum Bungsu”.
            Karena wafat, Sultan Abubakar digantikan untuk sementara oleh puteranya, Tengku Sontol Said Ali sebagai Wakil Sultan Pelalawan. Pada tanggal 6 Maret 1890 M. beliau diangkat menjadi Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Sontol Said Ali Abdurrahman Fachruddin. Tengku Sontol Said Ali memperluas Kota Pelalawan sampai ke Kuala Rasau yang disebut Ujung Pantai. Beliau memindahkan istananya yang bernama “Istana Melintang” dari Sungai Rasau ke Ujung Pantai. Oleh karena itu, istana tersebut diubah namanya menjadi “Istana Ujung Pantai”. Beliau juga melanjutkan perjuangan ayahandanya melawan penjajahan Belanda dengan mencoba menghubungi Turki sebagai pemasok senjata. Usaha tersebut gagal karena Belanda memblokir  Kuala Kampar dan Kuala Indragiri yang selalu dipakai sebagai tempat bongkar-muat senjata. Beliau terkenal rajin bekerja dan hampir sepanjang karirnya dihabiskan di Balai Kerapatan (Kantor Sultan) sampai akhirnya mangkat di balai itu pada tahun 1892 M. dengan pembangunan istananya yang masih terbengkalai. Setelah mangkat, almarhum diberi gelar “Marhum Mangkat di Balai”.
            Tengku Said Hasyim naik tahta menggantikan almarhum adindanya dengan gelar Assyaidis Syarif Hasyim II bin Abubakar Syahabuddin. Beliau memerintah dari tahun 1892 M. – sampai tahun 1930 M. Kebijakan awal beliau adalah melanjutkan perjuangan adindanya melawan Belanda dan meneruskan pembangunan Istana Ujung Pantai yang terbengkalai. Beliau juga membangun dua sayap di samping kanan dan kiri istana yang berfungsi sebagai balai. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut Balai Sayap Hulu yang berfungsi sebagai kantor Sultan dan bangunan di sebelah kiri istana  (sebelah hilir) dinamakan Balai Hilir yang berfungsi sebagai Balai Penghadapan bagi seluruh rakyat Pelalawan. Oleh sebab itu, istana tersebut juga diberi nama “Istana Sayap”. Nama istana yang terakhir tersebut dijadikan nama secara permanen hingga saat ini. Sekitar tahun 1896 M. bangunan istana selesai seluruhnya dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Melintang di Kota Dekat ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak saat itu pusat pemerintahan Kerajaan Pelalawan menetap di pinggir Sungai Kampar. Beliau membangun perkampungan baru, yakni Kampung Dalam dan Kampung Pinang Sebatang yang sebelumnya merupakan Dusun Pinang Sebatang. Beliau juga dikenal sangat memperhatikan sejarah, budaya, dan pendidikan. Oleh sebab itu, beliau mendirikan Sekolah Dasar di Pelalawan tahun 1905 M, Sekolah Pemerintah di Pelalawan tahun 1911 M, Sekolah Dasar di Langgam tahun 1924 M, dan Sekolah Desa di Serapung tahun 1925 M, Sekolah Madrasah Hasyimiah di Pelalawan tahun 1928 M, dan sebagainya. Dalam bidang sosial budaya beliau mendirikan pula Dharma Adun Thaniyah, yakni perkumpulan sosial yang kemudian melahirkan Taman Bacaan Pemuda. Pada masa pemerintahannya, pengaruh Belanda semakin kuat. Dengan berbagai cara Belanda memaksa beliau untuk mengubah struktur pemerintahan Pelalawan dengan mengalihfungsikan Wazir Berempat (Datuk Berempat) menjadi Districk dan para Orang Besar itu menjadi Districk Hoof sebagai berikut :
a.       Districk Langgam, dikepalai oleh Datuk Engku Raja Lela Putra, berkedudukan di Langgam ;
b.    Districk Pangkalan Kuras, dikepalai oleh Datuk Laksemana Mangku Diraja, berkedudukan di Pangkalan Pasir ;
c.       Districk Bunut, dikepalai oleh Datuk Kampar Samar Diraja, berkedudukan di Pangkalan Bunut ;
d.    Districk Serapung, dikepalai oleh Datuk Bandar Setia Diraja yang kemudian berganti gelar menjadi Datuk Bentara, berkedudukan di Serapung dan akhirnya pindah ke Teluk Meranti.
Perubahan ini juga berarti para Wazir tidak lagi memegang jabatan menurut asalnya tetapi menjadi kepala wilayah. Pada masa Sultan Syarif Hasyim II dalam kondisi sudah tua, diangkatlah Tengku Said Osman, putera tertua Tengku Said Ubaidillah menjadi wakil Sultan dengan gelar Tengku Pangeran. Sultan Syarif Hasyim II mangkat pada tahun 1930 M. dan dimakamkan di Pemakaman Mesjid Hibbah Pelalawan (Komplek Pemakaman Raja-Raja Pelalawan). Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Pelalawan dari Sungai Rasau ke pinggir Sungai Kampar, ketika mangkatnya beliau diberi gelar “Marhum Kampar II”.
            Karena putera Almarhum Sultan Syarif Hasyim II masih sekolah di Medan dan umurnya belum mencukupi untuk ditetapkan menjadi sultan, maka diangkatlah Tengku Said Osman bin Tengku Ubaidillah menjadi sultan yang bergelar Tengku Pangeran (Tengku Regent). Beliau memerintah dari tahun 1930 M. sampai tahun 1941 M. Sementara putera Almarhum Sultan Syarif Hasyim II, Tengku Said Haroen ditetapkan menjadi Putera Mahkota dengan gelar “Tengku Sulung Negara”. Meski bukan sultan dalam arti sebenarnya, namun kebijakan dan tanggung jawab Tengku Said Osman sama dengan sultan. Beliau terkenal berbudi mulia, mencintai rakyat, berjiwa seni, dan rajin membangun. Pada masa beliau beberapa perubahan dan kemajuan Kerajaan Pelalawan di bidang pendidikan umum, pendidikan agama, kesenian, olah raga, kepemudaan, kesehatan, dan perdagangan adalah sebagai  berikut :
1.      Selain sekolah agama yang telah ada di Pelalawan, didirikan pula sekolah-sekolah agama di tiap-tiap kedudukan districkhoofd. Guru-guru agama didatangkan dari Sumatera Barat. Sekolah-sekolah tersebut adalah sebagai berikut : Sekolah Agama di Pangkalan Bunut (1928 M.) guru pertamanya adalah Abdul Halim, Sekolah Agama di Serapung (1929 M.) guru pertamanya adalah Abdul Halim, dan Sekolah Agama di Kuala Napuh Pangkalan Kuras (1935 M.) guru pertamanya adalah Zainuddin Ahmad.
2.      Pada tahun 1931 M. didirikan “Koperasi Rakyat” dan “Koperasi Joisa (Johan-Idrus-Saleh)”
3.      Pendirian Sekolah Desa di Pangkalan Bunut (1931 M.) dan di Pangkalan Kuras (1941 M.).
4.      Pada tahun 1932 M. didirikan poliklinik di Pelalawan di bawah pimpinan Tengku Said Abdullah.
5.      Pada tahun 1933 M. didirikan perkumpulan pemuda dan olah raga, seperti : DMB (Didikan Murid Berusaha), kemudian dilebur menjadi PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) dipimpin oleh Tengku Comel Abdul Muthalib Amany. Usaha organisasi ini antara lain mendirikan “Menyesal Scool” untuk mendidik kaum wanita dan “Sekolah Tarbiyah” untuk pendidikan agama bagi anak-anak.
6.      Pendirian perkumpulan dan persatuan olah raga, di antaranya PVC (Pelalawan Votball Club) dibawah pimpinan T. Johan Ubaidillah dan T.S. Jaafar Ubaidillah. Pendirian PPP (Persatuan Pemuda Pelalawan) dibawah pimpinan T.S. Hamzah, Ali Idris, dan T.S. Arifin.
7.      Pada tahun 1937 M. didirikan “Taman Penghibur” yang bergerak di bidang kursus pengetahuan kesenian dan pertunjukan kesenian di bawah pimpinan Tengku Tonel Said Alwi.
8.      Pada tahun 1939 didirikan “Tonel Penghibur Hati” yang bergerak di bidang sandiwara di bawah pimpinan Tengku Comel.
9.      Pada tahun 1938 M. didirikan “Wester Lager Onderwyis” (lembaga pendidikan setingkat HIS) dengan guru pertamanya adalah Mohammad Syarif Amirullah.
Tengku Said Osman diberhentikan dengan hormat pada tahun 1941 M. Beliau mangkat pada tahun 1947 M. Karena baik budinya, almarhum diberi gelar “Marhum Budiman”.
            Pada tahun 1941 M. Tengku Said Haroen ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Haroen bin Hasyim Fachruddin (1941 M. – 1945 M.). Walaupun masa jabatannya singkat, namun banyak terjadi peristiwa penting, seperti jatuhnya penguasaan Belanda dan Jepang. Terjadinya perang kemerdekaan dan Proklamasi Kemerdekan RI. Atas kebijakan Sultan bersama desakan masyarakat, pada tanggal 1 Januari 1945 M. Pelalawan diresmikan menjadi Pelalawan Gun atau Kewedanaan Pelalawan. Sultan Syarif Haroen ditetapkan sebagai Wedana/Guncho Pelalawan yang pertama. Kewedanaan Pelalawan terdiri 4 Ku atau kecamatan, yaitu Bunut Ku, Serapung Ku, Pangkalan Kuras Ku, dan Langgam Ku. Pada bulan Februari 1945 Wedana Pelalawan diserahterimakan kepada Cik Agus. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Haroen sebagai Raja Pelalawan, beberapa organisasi telah didirikan, yaitu :
1.      Pada tahun 1943 M. didirikan “Pemesha” (Persatuan Murid Hasyimiah) oleh para pelajar “Madrasah Hasyimiah”.
2.      Padfa tahun 1943 M. para pemuda mendirikan “Angkatan Muda” di bawah pimpinan Tengku Johan Ibrahim dan Tengku Nazir. Kemudian para pemuda mendirikan “Perpeka” (Persatuan Pemuda Kampar) di bawah pimpinan Tengku Anwar Bey dan Tengku Nazir.
3.      Pada tahun 1944 M. didirikan “Jamiatul Khairiah” di bawah pimpinan Abdul Muthalib Amany dan Ismail Jamal.
4.      Pada tahun 1945 M. didirikan “Taman Kecerdasan” di bawah pimpinan Tengku Said Arifin.
5.      Pada tahun 1945 M. didirikan organisasi kesenian di bidang sandiwara yang bernama “Cahaya Pelalawan” di bawah pimpinan Bahrum Azhar.

F.       Zaman Kemerdekaan (1945 M. – Sekarang)

Pada tanggal 29 Agustus 1945 M. berita resmi Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945 M, pukul 10.00 WIB yang ditujukan kepada Wedana Pelalawan dibawa oleh T.S. Sagaf Osman dan Mohammad Tol dari Pekanbaru. Berita tersebut juga menginstruksikan agar segera menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Merah Putih. Pada tanggal 29 Agustus 1945 M. tengah malam Wedana Pelalawan mengadakan rapat kilat bersama para pemuka masyarakat, antara lain : Raja Pelalawan (T.S. Haroen), Eks Regent Pelalawan (T.S. Osman), Jaksa Pelalawan (T. Tonel), Kepala Polisi Pelalawan (Boenadin), dan pemuka masyarakat lainnya. Hasil rapat kilat tersebut adalah merupakan kebulatan tekad, sebagai berikut : “Menyambut baik kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta dan sehidup semati dengan negara Republik Indonesia serta ikut berjuang mempertahankannya”. Pada tanggal 30 Agustus 1945 M, pukul 10.00 waktu Sumatera dilaksanakan upacara penaikan bendera Merah Putih dengan khidmat di halaman kantor Kewedanaan Pelalawan yang dihadiri oleh seluruh aparatur Pemerintahan Kewedanaan Pelalawan, Kepala Polisi Pelalawan, Sultan Pelalawan, Para pembesar Kerajaan Pelalawan, Eks Regent Pelalawan, dan seluruh pemuka masyarakat. Bertindak sebagai inspektur upacara adalah Wedana Pelalawan. Mulai tanggal 30 Agustus 1945 M. tersebut setiap kantor dan rumah penduduk  diwajibkan  mengibarkan  bendera  Merah  Putih.  Pada  tanggal  28 Oktober 1945 M.
bersempena peringatan Hari Sumpah Pemuda, Sultan Syarif Haroen berikrar kepada seluruh pembesar kerajaan dan rakyat bahwa “Sultan bersama seluruh rakyat Pelalawan meleburkan diri  ke  dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pernyataan tersebut beliau ulangi lagi
pada tanggal 29 November 1945 M. di Kota Pelalawan. Karena Cik Agus (Wedana Pelalawan) diangkat sebagai Kepala Polisi Keresidenan Riau, maka pada bulan Desember 1945 M. pimpinan pemerintahan Kewedanaan Pelalawan dipegang oleh T. Said Haroen Wakil Wedana Pelalawan sampai tanggal 27 Juli 1946 M. Pada tanggal 27 Juli 1946 M. Pemerintah Keresidenan Riau menetapkan Amir Hamzah sebagai Wedana Pelalawan. Atas ketegasan Tengku Said Haroen membela RI, maka pada tahun 1946 M. beliau diangkat menjadi pegawai RI. Awal karir beliau sebagai pegawai RI adalah ditetapkan menjadi Asisten Wedana di Bunut. Karena Amir Hamzah diangkat menjadi Wakil Bupati Indragiri di Rengat, maka pada tanggal 5 Juli 1947 M. pimpinan pemerintahan Kewedanaan Pelalawan dipegang kembali oleh Tengku Said Haroen di samping jabatannya sebagai Asisten Wedana/Camat Bunut. Pada tanggal 20 September 1947 M. kembali Pemerintah Keresidenan Riau menunjuk Abdul Wahab sebagai Wedana Pelalawan. Karena pada bulan Juli 1948 M. Abdul Wahab dimutasikan ke Rengat, maka Tengku Said Haroen ditetapkan kembali menjadi Wakil Wedana Pelalawan di samping jabatannya sebagai Camat Bunut. Pada tahun 1949 M. Tengku Said Haroen diangkat menjadi Dirigent Territorial Officer meliputi daerah Lipat Kain, Teratak Buluh, dan seluruh wilayah bekas kerajaan Pelalawan. Jabatan tersebut lazim disebut Komandan Pangkalan Grilya. Karena Belanda beserta sekutunya mulai menduduki Indonesia kembali, khusunya menduduki Pekanbaru sejak 1 Januari 1949 M, maka mulai tanggal 26 Maret 1949 M. Kewedanaan Pelalawan dipimpin oleh Wedana Militer untuk memudahkan pengerahan rakyat dalam membantu perjuangan dan untuk melindungi kepentingan rakyat. Setelah penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda dan sekutunya pada tahun 1950 M, Tengku Said Haroen diangkat menjadi Wedana Pelalawan. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 14 Januari 1950 M. nomor 3/DC/STE/50 menetapkan bahwa Kewdanaan Pelalawan dengan beberapa wilayah kecamatan di bawah lingkungannya termasuk ke dalam Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 1956 M. Kewedanaan Pelalawan bergabung ke dalam Wilayah Kabupaten Kampar. Pada tahun 1959 M. Wedana Pelalawan, Tengku Said Haroen, mangkat. Karena kesetiaan dan kepatuhan terhadap Negara Kesatuan RI, maka setelah mangkat almarhum diberi gelar “Marhum Setia Negara”.
            Setelah Tengku Said Haroen mangkat, jabatan Wadana Pelalawan dipegang oleh Tengku Said Jaafar. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 1963 M. tentang penghapusan Keresidenan dan Kewedanaan serta instruksi Gubernur Kepala Daerah Riau nomor Inst/03/II/1964 tanggal 10 Februari 1964 M. tentang penghapusan Kewedanaan, maka pada bulan Maret 1964 M. Kewedanaan Pelalawan resmi dihapuskan. Pelalawan yang dahulunya sebagai ibu kota Kewedanaan berubah menjadi ibu kota yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kepenghuluan/Kedesaan dengan nama Kepenghuluan/Desa Pelalawan. Kepenghuluan/Desa Pelalawan tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Bunut, Kabupaten Kampar. Berdasarkan UU Nomor  , tanggal 12 Oktober 1999 Kabupaten Kampar dipecah menjadi 3 kabupaten, yaitu : Kabupaten Kampar (induk), Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Pelalawan. “Pelalawan” digunakan sebagai nama kabupaten adalah mengacu kepada sejarah asal-usul dan perjalanan Kerajaan Pelalawan yang sirna ditelan masa ibarat batang kayu yang tenggelam. Atas tekad “membangkitkan/mengangkat batang kayu yang tenggelam tersebut, maka para tokoh masyarakat Pelalawan dan sekitarnya berjuang bahu-membahu untuk mendirikan sebuah kabupaten di Kampar wilayah hilir. Dengan perjuangan tersebut, lahirlah sebuah kabupaten yang diberi nama “Kabupaten Pelalawan”. Bersamaan berdirinya Kabupaten Pelalawan,   berdiri   sebuah   kecamatan   persiapan  yang  diberi  nama  “Kecamatan  Pembantu
Pelalawan” yang membawahi Desa Pelalawan, Sungai Ara, Ransang, Kuala Tolam, Sering, Telayap, Lalang Kabung, Delik, dan Delima Jaya. Kecamatan Pembantu Pelalawan merupakan pecahan dari Kecamatan Bunut dan yang menjabat sebagai Camat Pembantu adalah Drs. Tengku Mukhlis.  Setelah  berjalan  kurang  dari dua tahun, maka status Kecamatan Pembantu Pelalawan
ditingkatkan menjadi kecamatan definitif yang diberi nama “Kecamatan Pelalawan”. Camat pertama yang memimpin Kecamatan Pelalawan adalah Drs. Tengku Mukhlis. Saat ini status Desa Pelalawan juga telah ditingkatkan menjadi kelurahan dengan nama “Kelurahan Pelalawan”. Penjabat Lurah pertama yang memimpin Kelurahan Pelalawan adalah H. Zaifuddin Bsr.
            Sebagai simbol sejarah asal usul dan perjalanan panjang Kerajaan Pelalawan, di Kelurahan Pelalawan terdapat istana peninggalan Kerajaan Pelalawan yang berdiri megah. Istana tersebut diberi nama “Istana Sayap”. 

0 komentar:

Posting Komentar